Budaya  

Meski ‘Disisihkan’ Sunda Wiwitan Tetap Berjuang

Redaksi
Dewi Kanti Setianingsih pegiat hak asasi Sunda wiwitan. Foto: sejuk.org.
Dewi Kanti Setianingsih pegiat hak asasi Sunda wiwitan. Foto: sejuk.org.

Mitranews – Meski sudah ada ratusan tahun agama kepercayaan ini ada di negara Indonesia, namun para penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, mengaku terus alami diskriminasi.

Kini, mereka terus berjuang demi dapat pengakuan dan perlindungan dari negara sebagai masyarakat adat. Mereka juga mengaku kerap disalahpahami.

Subrata Eks pegawai negeri sipil (PNS) sekaligus penganut kepercayaan Sunda Wiwitan mengungkapkan kesedihan yang selama ini ia alami. Ia mengaku bahwa para penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan selalu disisihkan dalam berkehidupan sosial.

Dewi Kanti Setianingsih pegiat hak asasi Sunda wiwitan. Foto: sejuk.org.
Dewi Kanti Setianingsih pegiat hak asasi Sunda wiwitan. Foto: sejuk.org.

“Saya merasa diberikan Tuhan hidup yang lengkap sebagai manusia suku Sunda, Bangsa Indonesia. Tetapi sesudah di dunia ini, saya diperbedakan siapa yang tidak sakit hati?” Ungkap Subrata dikutip dari Chanel youtube VOA Indonesia, Selasa 15 Agustus 2023.

Baca Juga:  LKS Yayasan Miraj Mulia Gelar Acara Cucurak Menjelang Datangnya Bulan Ramadhan

Subrata (81) saat masih jadi PNS mengaku sempat dianggap “tak bertuhan”, karena menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.

Ia bahkan mengaku semasa menjadi PNS tidak pernah naik pangkat. “Jadi selalu disisihkan, meskipun saya dikatakan bagus dalam bekerja,” katanya.

Meski sudah eksis sejak berabad-abad lalu, penghayat Sunda Wiwitan terus saja menemui rintangan. Dicegat kerja dipemerintahan, bahkan status nikah dan anak dianggap tidak sah.

Terkini, pemakaman mereka ditutup karena ‘kurang perijinan’.

Dewi Kanti Setianingsih pegiat hak asasi Sunda wiwitan mengatakan, banyak yang dialami oleh warga penghayat Sunda Wiwitan salah satunya tentang status di dinas kependudukan. Menurutnya bukan warga penghayat Sunda Wiwitan tidak mendaftarkan, namun karena negara belum memberikan kesempatan.

Baca Juga:  Cara Mempertahankan Keistimewaan Yogya oleh Budayawan dan Penulis Yogyakarta

“Dampaknya adalah pada siklus kehidupan yang rentankan perempuan atas status perkawinan, kemudian hak ekonomi”. Kata Dewi Kanti.

“Menariknya, ketika perkawinan ditulis tak tercatat, kan bukan kesalahan warga negaranya tapi sistem negaranya yang belum mengakomodir,” lanjutnya

Demi tebas ‘minkonsepsi’, agama lain coba dilibatkan dalam acara upacara adat. Mereka pun terus berjuang melobi pemerintah, dengan cara menggandeng LSM dan badan agama hingga tempuh pengadilan.

Baca Juga:  Masjid Saka Tunggal Tempat Wisata Religi dan Objek Wisata Lokal yang Nyaman

Ira Indrawardana Antropolog Unpad penganut Sunda Wiwitan menjelaskan, bahwa masyarakat adat hanya menghormati leluhurnya bukan menyembah leluhur atau mengkultuskannya.

“Mereka (masyarakat adat) memang menghormati leluhur, menyembah bukan berarti menyembah mengkultuskan leluhur, tapi menghormati bahwasannya tidak mungkin ada kita kalau tidak ada leluhur” bebernya.

Penulis: Arman
Sumber: YouTube/Voa Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *