MitraNews, Jakarta – Penetapan Panji Gumilang sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dinilai sejumlah pihak sebagai bentuk pelanggaran HAM dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.
Padahal, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan serta mengemukakan pendapat atau ekspresi dijamin oleh konstitusi RI yakni Pasal 28 E UUD 1945.
Hal itu dikemukakan oleh peneliti lembaga Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Annisa Yudha di Jakarta, Rabu 2 Agustus 2023.
“Kasus Panji Gumilang dan Al Zaytun setelah ditetapkan oleh Bareskrim Mabes Polri sebagai tersangka atas kasus penodaan dan penistaan agama yang bertentangan dengan prinsip HAM termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah dijamin oleh konstitusi pasal 28 E UUD 1945 dan prinsip HAM secara internasional,” beber Annisa.
Selain itu, kata Anisa ini merupakan bentuk ketundukan aparat polisi terhadap tekanan massa yang notabene adalah kelompok mainstream.
Menurutnya, Jawa Barat menjadi daerah di Indonesia yang banyak terjadi kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Yang melakukan pelanggaran tersebut adalah kelompok-kelompok mainstream yang tidak jarang dilegitimasi oleh pemerintah daerah setempat baik di level bupati walikota bahkan gubernur,” tambahnya.
Penetapan Panji Gumilang sebagai tersangka pasal penistaan agama, kata Anisa memperlihatkan bahwa negara malas berpikir dan tidak memiliki perspektif luas yakni prinsip Hak Asasi Manusia dan kebebasan berpendapat dan berekspresi termasuk ajaran agama yang berbeda.
“Negara tidak mau berusaha untuk menggunakan perspektif HAM dan Keberagaman yang telah dijamin oleh konstitusi. Termasuk penanganan dari aparat penegak hukum yang masih bias dan mayoritarianisme, pola kriminalisasi terhadap tersangka yang dijatuhi pasal penodaan agama,” jelasnya.
Hal itu, bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi pada Januari 2023 lalu yang meminta seluruh kepala daerah untuk menjaga wilayahnya dari bentuk intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Karenanya, pihak Imparsial mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum untuk tidak mengulangi hal yang sama di masa yang akan datang dan bisa menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara Indonesia.
“Ke depannya diharapkan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk merespon perbedaan pendapat keagamaan di masyarakat dapat mengedepankan dialog dan toleransi antar umat beragama yang inklusif,” tandasnya.
(Hrs/redaksi)