MITRANEWS, – Jakarta. Sejarah mencatat, Indonesia pernah menunjukkan ketegasan luar biasa terhadap kejahatan korupsi. Pada era Presiden Soekarno, seorang pejabat tinggi negara bernama Jusuf Muda Dalam, dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan korupsi besar-besaran.
Jusuf Muda Dalam, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia, memegang kendali atas kebijakan keuangan negara. Namun, kekuasaan itu justru disalahgunakan. Ia dituduh melakukan penyelundupan devisa dan memperkaya diri dengan uang negara.
Pasca peristiwa G30S/PKI tahun 1965, pemerintahan baru yang lahir menindak keras setiap penyimpangan keuangan. Jusuf Muda Dalam diadili dan dijatuhi vonis hukuman mati, menjadikannya koruptor pertama dalam sejarah Indonesia yang dieksekusi.
Langkah tegas itu menegaskan pesan kuat: korupsi dianggap pengkhianatan terhadap rakyat dan negara. Di masa itu, pemerintah melihat korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan tindakan yang meruntuhkan sendi moral bangsa.
Namun kini, hukuman mati bagi koruptor tak lagi diberlakukan. Perubahan sistem hukum dan politik setelah era Sukarno menempatkan kejahatan korupsi dalam kerangka hukum pidana umum, bukan lagi sebagai “kejahatan terhadap revolusi” atau ancaman terhadap keamanan negara.
Selain itu, munculnya berbagai instrumen hukum seperti UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) yang dijunjung tinggi, membuat penerapan hukuman mati untuk korupsi tidak lagi sejalan dengan kebijakan hukum nasional.
Kini, meski hukuman mati diatur secara terbatas dalam hukum Indonesia, penerapannya lebih difokuskan pada kejahatan luar biasa seperti terorisme dan narkotika. Sementara bagi koruptor, sanksi maksimalnya berupa penjara seumur hidup, denda besar, atau perampasan aset hasil kejahatan.
Kisah Jusuf Muda Dalam menjadi pengingat bahwa negara ini pernah sekeras itu terhadap pelaku korupsi. Pertanyaannya, apakah ketegasan semacam itu masih mungkin dihidupkan kembali di tengah lemahnya moral pejabat publik masa kini? (Imam Setiadi)













