Meritokrasi, Warisan Kepemimpinan Visioner Lee Kuan Yew

MITRANEWS, Internasional– Dunia modern menuntut keadilan berbasis kemampuan, bukan warisan kekuasaan. Di sinilah konsep meritokrasi hadir sebagai angin segar. Sistem ini menempatkan individu berdasarkan prestasi, kompetensi, dan integritas, bukan pada siapa orang tuanya atau seberapa tebal dompetnya. Istilah meritocracy pertama kali diperkenalkan oleh Michael Young dalam bukunya “The Rise of the Meritocracy” pada 1958 — sebuah gagasan yang kelak menjadi dasar bagi negara seperti Singapura di bawah Lee Kuan Yew.

Dalam meritokrasi, jalan menuju posisi penting tidak ditentukan oleh hubungan pribadi atau jabatan keluarga, melainkan hasil kerja nyata dan dedikasi. Prinsip ini menjadi antitesis dari nepotisme dan feodalisme yang kerap menumpulkan potensi bangsa. Di dunia yang kompetitif seperti sekarang, meritokrasi membuka ruang bagi setiap orang untuk bersaing secara sehat.

Lee Kuan Yew, pendiri dan perdana menteri pertama Singapura, adalah sosok yang menjadikan meritokrasi bukan sekadar teori, melainkan fondasi kepemimpinan nasional. Di bawah visinya, Singapura bertransformasi dari negara kecil tanpa sumber daya alam menjadi pusat ekonomi dan pendidikan Asia. Rahasianya sederhana: memilih orang terbaik di bidangnya, memberi tanggung jawab penuh, dan menilai berdasarkan hasil, bukan asal.

Baca Juga:  Kh.Idham Chalid Pahlawan Nasional, Politis, Pendidik dan Ulama di Uang 5000

“Dalam meritokrasi,” kata Lee Kuan Yew dalam banyak kesempatan, “yang terbaik harus memimpin, bukan yang paling berpengaruh.” Prinsip itu membuat birokrasi Singapura dikenal paling bersih dan efisien di Asia. Para pejabat dipilih melalui ujian kompetensi, rekam jejak profesional, dan tanggung jawab moral yang ketat. Tidak ada ruang bagi mereka yang hanya mengandalkan kedekatan politik atau keluarga.

Di sektor pendidikan, meritokrasi juga menjadi landasan kuat. Pemerintah Singapura memberikan beasiswa dan peluang karier bagi pelajar berprestasi tanpa melihat latar belakang ekonomi. Sistem ini menciptakan generasi muda yang berorientasi pada kompetensi dan kerja keras, bukan privilese sosial. Hal serupa diterapkan di dunia kerja, di mana promosi dan penghargaan ditentukan oleh kontribusi, bukan koneksi.

Baca Juga:  Timnas Indonesia U-17 Ikut Kompetisi Elit Pro Academy (EPA)

Kelebihan sistem ini terlihat nyata: masyarakat menjadi termotivasi untuk berusaha lebih keras, pemerintah berjalan efektif, dan lingkungan kerja lebih profesional. Meritokrasi juga menekan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), karena semua orang tahu bahwa satu-satunya cara untuk maju adalah dengan menunjukkan kinerja terbaik.

Namun, idealisme meritokrasi juga menyimpan tantangan. Akses pendidikan dan pelatihan yang tidak merata bisa menciptakan ketimpangan kesempatan. Selain itu, tekanan sosial bagi individu untuk selalu berprestasi dapat menimbulkan stres dan rasa tidak aman. Oleh karena itu, sistem ini harus diimbangi dengan kebijakan kesetaraan akses, agar semua warga memiliki peluang yang sama untuk berhasil.

Baca Juga:  Indonesia Tumbang 2-3 dari Arab Saudi, Peluang Lolos ke Ronde 5 Masih Terbuka

Pada akhirnya, meritokrasi bukan sekadar sistem, melainkan cermin keadilan sosial modern. Ia menuntut keberanian untuk menilai berdasarkan kualitas, bukan kuantitas. Lee Kuan Yew telah membuktikan bahwa bangsa kecil pun bisa besar jika dipimpin oleh orang-orang terbaik. Prinsip meritokrasi menjadi warisan berharga yang layak ditiru — bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh setiap organisasi dan individu yang ingin maju dengan integritas. (Henry)
Dari berbagai sumber**

Penulis: HenryEditor: Arman