Pancasila, Ideologi Sakti Tapi Implementasi Masih Setengah Hati ?

MITRANEWS, Nasional – Sejak ditetapkan sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945, Pancasila terbukti kokoh sebagai ideologi pemersatu bangsa Indonesia. Ia mampu bertahan melewati gempuran berbagai ideologi besar dunia, mulai dari kolonialisme, komunisme, hingga arus globalisasi dan liberalisme.

Namun, di balik kekokohannya sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa, pertanyaan kritis muncul: apakah nilai-nilai dasar Pancasila benar-benar sudah terimplementasikan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?

Ketuhanan yang Maha Esa

Pancasila menempatkan Ketuhanan sebagai sila pertama, menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Kebebasan beragama terjamin, kehidupan spiritual berkembang, rumah ibadah berdiri di mana-mana. Namun, intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih sering terjadi, bahkan politik identitas kerap dimanfaatkan dalam kontestasi kekuasaan.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Semangat kemanusiaan tercermin dalam gerakan solidaritas sosial, terutama saat bencana melanda negeri ini. Masyarakat saling membantu, gotong royong masih hidup. Tetapi di sisi lain, kasus pelanggaran HAM, kekerasan aparat, serta ketidakadilan hukum bagi rakyat kecil masih menjadi luka yang belum tuntas.

Baca Juga:  Ketum AWPI : Saya Masih Punya Hutang Moral

Persatuan Indonesia

NKRI tetap tegak berdiri di atas ribuan pulau, ratusan etnis, dan keragaman budaya. Pancasila terbukti sebagai perekat yang kuat. Meski begitu, polarisasi politik, ujaran kebencian, dan konflik horizontal menunjukkan rapuhnya persatuan bila tidak dijaga dengan kebijaksanaan.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Indonesia telah memilih demokrasi sebagai jalan politik. Pemilu langsung digelar, rakyat punya wakil di parlemen. Demokrasi berjalan secara prosedural. Namun, kualitasnya sering tercoreng oleh politik uang, praktik oligarki, dan lemahnya etika musyawarah yang sejatinya menjadi roh sila keempat.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Baca Juga:  Intermittent Fasting: Manfaat, Risiko, dan Cara Melakukan

Sila kelima adalah cita-cita luhur: keadilan bagi semua. Program pembangunan, subsidi, dan bansos telah diupayakan untuk pemerataan. Namun kesenjangan sosial-ekonomi masih lebar. Akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan belum merata, terutama di wilayah pinggiran.

Pandangan Akademisi

Budayawan Prof. Yudi Latif menegaskan bahwa Pancasila kini lebih banyak diperingati secara seremonial ketimbang diamalkan secara substansial. Sementara filsuf Franz Magnis-Suseno mengingatkan bahwa elite politik sering menjadikan Pancasila sebatas slogan, bukan panduan perilaku.

Kedua pandangan ini menegaskan bahwa tantangan terbesar bangsa bukan pada ideologinya, tetapi pada political will pemimpin dan kesadaran masyarakat dalam menjalankan nilai Pancasila.

Refleksi

Pancasila telah terbukti “sakti” sebagai ideologi. Tetapi kesaktiannya akan kehilangan makna jika hanya diperingati tiap 1 Juni dan 1 Oktober tanpa benar-benar diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Indonesia membutuhkan pemimpin dan rakyat yang berintegritas, bukan hanya bangsa penghafal teks Pancasila, tetapi bangsa yang siap dan sanggup menghidupkan Pancasila dalam perilaku sehari-hari dari pemimpin tertinggi hingga rakyat kecil.

Baca Juga:  Rapimnas AWPI 2025 Berakhir, Panitia Ucapkan Terima Kasih Kepada Semua Elemen Masyarakat

Sampai hari ini, Pancasila tetap sakti sebagai ideologi, tetapi implementasi nilai-nilainya masih setengah hati. Di sinilah tugas besar kita bersama, menghidupkan Pancasila dalam kehidupan nyata, agar menjadi nafas dan urat nadi bangsa Indonesia. (Imam Setiadi)