Politik dalam Pandangan Filsuf, Mengapa Rakyat Apatis Mudah Dimanipulasi?

 

MITRANEWS, Ensiklopedia – Apakah rakyat yang apatis terhadap politik lebih mudah dimanipulasi penguasa? Jawabannya: iya. Sejarah dan pemikiran para filsuf besar sudah menunjukkan buktinya.

Ketika rakyat memilih diam, saat mereka tidak peduli dengan jalannya kekuasaan, di situlah penguasa bisa melenggang tanpa pengawasan. Janji manis lebih mudah diterima, politik uang dianggap lumrah, dan demokrasi kehilangan rohnya.

Politik Bukan Sekadar Urusan Elite

Aristoteles, filsuf Yunani, menyebut manusia sebagai zoon politikon—makhluk politik. Artinya, keterlibatan dalam urusan publik bukan sekadar pilihan, tetapi kodrat. Namun kenyataannya, banyak rakyat justru menjauh dari politik karena menganggapnya kotor dan hanya milik elite.

Padahal, ketika rakyat pasif, manipulasi menemukan jalannya. Kekuasaan menjadi arena yang sepi dari kontrol.

Rousseau dan Kedaulatan Rakyat

Jean-Jacques Rousseau, pemikir asal Prancis, menegaskan bahwa kedaulatan rakyat hanya bisa hidup jika warga terlibat aktif. Demokrasi baginya bukan sekadar memilih, tetapi memastikan suara rakyat benar-benar menjadi dasar pengambilan keputusan.

Baca Juga:  Resep Maskan Khas Jawa Warisan Leluhur yang Lezat dan Populer Turun-Temurun

Saat rakyat memilih pasif, yang terjadi bukan lagi demokrasi, melainkan kekuasaan segelintir elite yang lihai memainkan narasi.

John Dewey: Demokrasi adalah Proses Belajar

John Dewey, filsuf Amerika, menyebut demokrasi sebagai proses pendidikan berkelanjutan. Warga negara perlu terus belajar, berdialog, dan memahami politik. Tanpa kesadaran itu, demokrasi hanya tinggal ritual lima tahunan tanpa substansi.

Karena itu, pendidikan politik sejak dini sangat penting. Anak muda perlu diajak sadar bahwa politik bukan sekadar urusan pemilu, tetapi soal nasib bersama—mulai dari harga pangan, akses pendidikan, hingga masa depan bangsa.

Habermas dan Ruang Publik yang Kritis

Di era media sosial, manipulasi sering bekerja lewat banjir informasi. Hoaks, propaganda, hingga buzzer politik jadi senjata untuk menggiring opini publik.

Baca Juga:  Intermittent Fasting: Manfaat, Risiko, dan Cara Melakukan

Jürgen Habermas lewat gagasan public sphere (ruang publik) menekankan bahwa demokrasi hanya bisa sehat jika ada ruang dialog kritis yang bebas dari manipulasi. Itu sebabnya, literasi media sangat penting agar rakyat bisa membedakan fakta dari propaganda.

Mengawal Demokrasi Lewat Partisipasi

Partisipasi rakyat tidak boleh berhenti di bilik suara. Demokrasi butuh keterlibatan terus-menerus—mulai dari musyawarah desa, forum warga, hingga mengawal kebijakan publik.

Lord Acton, sejarawan Inggris, sudah lama mengingatkan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan tanpa kontrol rakyat hanya akan berujung pada penyalahgunaan.

Keteladanan Seorang Pemimpin

Namun, kesadaran politik tidak bisa hanya dibebankan pada rakyat. Pemimpin juga harus memberi teladan. Integritas, keterbukaan, dan sikap merakyat akan menumbuhkan kepercayaan serta mendorong rakyat lebih peduli.

Baca Juga:  Mengenal Golongan Darah dan Manfaatnya bagi Tubuh

Kesimpulan

Rendahnya kesadaran politik memang membuat rakyat mudah dimanipulasi. Tetapi solusi tetap ada: lewat pendidikan politik, literasi media, partisipasi aktif, dan keteladanan pemimpin.

Dari Aristoteles hingga Habermas, para filsuf sepakat bahwa politik bukan milik segelintir orang, melainkan milik seluruh warga. Demokrasi akan rapuh tanpa rakyat yang sadar, kritis, dan berani bersuara.

*Imam Setiadi – Mitra News*

Dari berbagai sumber**

Penulis: Iman SetiadiEditor: Arman